Rabu, 20 Agustus 2008

KRATON YOGYAKARTA / Yogyakarta Palace

Oleh. Saidi Puang Matoa

A. Sejarah Kraton Yogyakarta
Sejarah panjang berdirinya Kraton Yogyakarta tidak lepas dari sejarah panjang perlawanan rakyat Indonesia
melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa asing, yang dimulai dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda melalui Paku Buwono II yang merupakan Sultan di Keraton Surakarta untuk menyerahkan seluruh wilayah
pesisir utara Jawa.

Pangeran Mangkubumi yang merupakan penasehat Paku Buwono II sangat tegas menolak keinginan pemerintah Hindia Belanda tersebut dan kemudian menentang serta mengangkat senjata melawan kompeni Belanda.

Akibat-akibat perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi memaksa pemerintah Hindia Belanda melakukan perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Giyanti, yang mana akibat dari perjanjian tersebut kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian yaitu Kraton Kasunanan Surakarta dan Kraton Kasultanan Yogyakarta.

Selanjutnya di daerah baru tersebut, Pangeran Mangkubumi mendirikan Kerajaan Mataram Yogyakarta di wilayah Beringin pada tahun 1756 dan beliau bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.

B. Wilayah Kraton Yogyakarta
Wilayah Kraton Yogyakarta membentang antara Tugu sebagai batas utara dan Krapyak sebagai batas selatan, sementara sungai Code sebagai batas timur dan sungai Winogo sebagai batas sebelah barat dan juga Kraton Jogjakarta berada diantara Gunung Merapi dan Laut Selatan.

Pada tahun 1867, terjadi gempa bumi yang membuat Kraton Yogyakarta mengalami kerusakan yang cukup berat.
Oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII pada tahun 1889 Keraton yang rusak itu dipugar tetapi bentuknya diubah
seperti yang sekarang ini.

Kraton Yogyakarta ini menghadap alun-alun lor (alun-alun utara) yang pada zaman dahulu dipergunakan sebagai tempat mengumpulkan rakyat, latihan perang bagi prajurit kraton, dan tempat penyelenggaraan upacara adat serta keperluan lainnya. Di bagian tengah alun-alun terdapat dua buah pohon beringin yang diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai Wijayadaru yang melambangkan kehidupan di dunia terdapat dua sifat yang saling bertentangan.

Pusat wilayah Kraton Yogyakarata luasnya 14.000 m2 dengan dikelilingi tembok (benteng) setinggi 4 meter dan lebar 3,5 meter. Sementara untuk menghubungkan wilayah dalam Kraton dan luar kraton terdapat 5 buah pintu gerbang
yang disebut Plengkung yaitu Plengkung Nirbaya (selatan), Plengkung Jagabaya (barat), Plengkung Jagasura (barat laut), Plengkung Tarunasura (timur laut), Plengkung Madyasura (barat). Tetapi dalam perkembangannya hanya ada
dua yang masih tetap utuh, yaitu Plengkung Nirbaya dan Plengkung Tarunasura.

Lingkungan dalam Kraton Yogyakarta mulai dari bagian depan hingga bagian belakang secara garis besar terbagi antara 7 halaman (pelataran) yang mana masing-masing dibatasi tembok tinggi dan didalamnya terdapat bangunan-bangunan yang dihubungkan oleh pintu gerbang yang disebut Rogol.

Hingga saat ini Kraton Yogyakarta selain berfungsi sebagai tempat tinggal Sultan beserta keluarganya juga berfungsi sebagai tempat museum dan dahulu sebagai pusat pemerintahan, juga sebagai pusat kebudayaan dan pengembangannya di Yogyakarta

C. Bangunan- Bangunan Lingkungan Kraton
Lingkungan dalam Kraton Yogyakarta mulai dari bagian depan hingga bagian belakang secara garis besar terbagi atas
7 halaman atau pelataran yang mana masing-masing dibatasi tembok tinggi dan didalamnya terdapat bangunan-bangunan serta pintu gerbang yang menghubungkan antara halaman yang satu dengan halaman yang lainnya
disebut Regol. Secara berturut halaman-halaman dan bangunan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pelataran Pagelaran (halaman depan) terletak di sebelah selatan alun-alun utara, sementara bangunan-bangunan yang ada adalah:
a. bangsal pagelaran
b. bangsal pemandangan
c. bangsal pengapit
d. bangsal pangrawit
e. bangsal pacikeran
f. bangsal sitihinggil
g. bangsal manguntur tangkil
h. bangsa witana
i. balebang
j. bale angun-angun
k. tarub abang
l. Regol Brojonolo
2. Pelataran Kamandungan Lor yang merupakan pelataran kedua bangunan-bangunan yang ada.

By Saidi Puang Matoa
A. Yogyakarta Palace History
Long history of Yogyakarta Palace building can not be separated from long history of Indonesian Struggle against Dutch colonialism. It started with the willingness of Dutch Colonial through Pakubowono II who is the king of Surakarta Palace surrendered the Java’s northern coast. Prince Mangkubumi, advisor of Pakubowono II, explicitly reject the willingness of Dutch, oppose and attack against Dutch. The consequences of Prince MAngkubumi struggle, pushed Dutch to make agreement, known as Giyanti Agreement. The result of giyanti agreement was Mataram Kingdom divided into two; Kraton Kasunanan Surakarta and Kraton Kasultanan Yogyakarta. Then, Prince Mangkubumi contructed Yogyakarta Mataram Kingdom din Bringin region in 1765 and had a titled as Sri Sultan Hamengkubuwono I.

B. Yogyakarta Palace Region
Yogyakarta palace region spread out between tugu as northern border and krapyak as southern border. Whereas Code river as eastern border and Winogo river as western border. It also situated between Merapi mountain and South Sea.
In 1867, earthquake occurred and made the palace destructed. In 1889 the destruction palace restored by Sri Sultan Hamengkubuwono VII, the form was changed as now.The palace face northern town square in which at the past time people gathered, palace soldier had military training, custom ceremony carried out and for other interest. In the middle town square, there are two banyan tree which named as Kyai Dewadaru and Kyai Wijayadaru which symbolize two contradicted characteristic in world’s life.The center of palace has 14.000 high square surrounded by high wall with heights 4 m and width 3,5 m. For connecting between inside and outside of palace, there are five gates which called Plengkung; Plengkung Nirbaya (south), Plengkung Jagabaya (west), Plengkung Jaga Sura (Northwest), Plengkung Taruna ( Northeast), Plengkung Madyasura (West). Now, only two existed Plengkung, Plengkung Nirbaya and Plengkung Taruna Sura.Until now, the place function as not only sultan (king) and family resident but also as museum and in the past as government center and cultural center and development.
C. Buildings in Palace Complex
Palace complex, generally consist of seven yard. Every yard bordered by high wall in which some buildings constructed and gates to acces between one yard to the other yard. It’s called as Regol.
1. Pelataran Pagelaran (front yard) located in south of northern town, the building are as follows:
a. bangsal pagelaran
b. bangsal pemandangan
c. bangsal pengapit
d. bangsal pangrawit
e. bangsal pacikeran
f. bangsal sitihinggil
g. bangsal manguntur tangkil
h. bangsa witana
i. balebang
j. bale angun-angun
k. tarub abang
l. Regol Brojonolo
2. Pelataran Kamandungan Lor is the yard of both building.


Selasa, 19 Agustus 2008

KOMUNITAS BISSU DI TENGAH KEMAJEMUKAN BUDAYA/BISSU COMMUNITY IN THE MIDDLE OF CULTURAL DIFFERENCES

Oleh: Saidi Puang Matoa

Negara kepulauan Indonesia yang terdiri dari tidak kurang 17.000 pulau besar dan kecil, memiliki latar belakang yang sangat unik, karena masyarakatnya memiliki budaya dan ribuan bahasa yang saling memperkaya dan menguatkan satu sama lain 
dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia, agama lokal atau kepercayaan asli masyarakat setempat, budaya dan masyarakat adat yang telah berakar sejak ribuan tahun yang lalu berkali-kali mengalami ancaman terkait dengan eksistensi kebendaannya baik dalam pelaksanaan ritual budayanya maupun dalam hal perampasan hak-hak ulayatnya.

Secara garis besar ancaman-ancaman yang menimpa komunitas adat dimulai pada saat masuknya agama-agama luar seperti agama Islam yang dibawa para pedagang-pedagang Gujarat, Persia dan lain-lain maupun agama Kristen yang dibawa oleh Misionaris-misionaris.

Ancaman lain adalah adanya kecenderungan negara untuk tidak mengakui bahwa telah menghilangkan budaya-budaya atau aliran-aliran kepercayaan lokal, yang dapat dilihat dengan diakuinya 6 agama-agama yang notabene bukan berasal dari masyarakat Indonesia.

Hal lain yang menjadi anacaman serius bagi keberadaan masyarakat adat adalah kepentingan global yang didorong oleh korporasi-korporasi raksasa melalui sebuah skenario liberalisasi untuk menguasai sumberdaya alam Indonesia yang mana 
sangat meminggirkan hak ulayat masyarakat adat yang notabene adalah adalah pemilik sah sumber daya alam tersebut jauh sebelum Indonesia dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Demikian halnya yang dialami oleh komunitas Bissu yang berada di Kabupaten Bone, Kabupaten Wajo, Kabupaten Sopeng dan Kabupaten Pangkep. Ditengah terpaan ancaman-ancaman yang ada, komunitas ini berusaha kuat untuk tetap eksis di bawah kepemimpianan Puang Matoa Bissu untuk tetap mempertahankan dan menjalankan kemurnian ajaran Ilagaligo, sebuah kepercayaan yang diwariskan secara turun temurun yang tertuang dalam sebuah kitab “Sure” ILLAGALIGO yang sejarahnya ILAGALIGO merupakan anak dari Sawe Rigading yang merupakan Raja Luwu dengan istri bernama I We Cudai, sementara Raja Sawerigading sendiri merupakan putra dari hasil perkawinan Batara Guru yang merupakan putra dari Patoto ‘E Ri Boting Langi (pemimpin dunia atas atau kahyangan) dengan WENYILOTIMO yang merupakan putri dari Guru Salle (pemimpin dunia bawah/ bumi pertiwi).

Komunitas Bissu yang sejak keberadaannya sampai sekarang berjumlah 40 orang yang dipimpin Puang Matoa Bissu Saidi melaksanakan fungsinya selain fungsi yang disebutkan diatas juga berfungsi/ bertugas untuk menyiapkan alat-alat upacara seperti upacara “Bau Ade Si Wewang Lino” , upacara “Laowawang Lino”. Menentukan hati baik dan buruk dan menyemangati Sao Den Ra Kati disamping berbagai macam tugas-tugas lain seperti yang tertuang dalam kitab ILLAGALIGO.

Mencermati kondisi masyarakat adat di tengah ancaman yang tersebut diatas yang mana telah berdampak pada penghilangan jati diri bangsa bahkan pembunuhan komunitas adat. Langkah konsolidasi dan penguatan masyarakat adat termasuk Komunitas Bissu menjadi agenda utama yng harus secepatnya dan terus menerus/ berkesinambungan untuk dilakukan menuju masyarakat adat yang berdaulat. Yang lain adalah untuk mengakui sepenuhnya keberadaan masyarakatnya.

 
BY: SAIDI Puang Matoa

Indonesia is a country which has 17.000 islands consist of large and small island, and a unique country background because the citizen has got very rich cultures and also languages which enrich and strengthen each other in one big frame called Bhineka Tunggal Ika (Unity in Diversity). In the long history line of Indonesia, local belief; religion and culture which have already existed since thousand years ago, are threatened. It is related with its existence, cultural ritual activities, and also land right. Generally, the threats that the custom community were facing happened when other religions came to Indonesia, namely Islam by the merchants from Gujarat, Persia and so forth, then Christianity by the missionarists. In the other hand, also a thread, there is a tendency that the government does not confessed or it obliterates the local religions and cultures by only confessing 6 religions which do not come originally from Indonesian native. The other serious threat is the global’s necessity which is supported by the gigantic corporation throughout a liberalization scenario in order to authorize the Indonesian natural resources. It alienates the local citizen’s right as the owner of the land, far before Indonesia got its freedom on August 17th 1945. That is what happened to the Bissu community in Bone, Wajo, Sopeng, and Pangkep region. Under this pressure, the Bissu community, lead by Puang Matoa Bissu keep trying and defending its existence and the purity of its belief which has been inherited and written in the “Sure” ILLAGALIGO bible. In the history, ILLAGALIGO the son of Sawe Rigading is Luwu King and has a wife named I We Cudai. Meanwhile, Sawe Rigading is the son of Batara Guru who is the son of Patoto ‘E Ri Boting Langi (The leader of heaven) and WENYILOTIMO who is the daughter of Guru Salle (the leader of earth). The Bissu community, lead by Puang Matoa Bissu Saidi, which keeps its total number summed 40 until now, accomplishes its function to prepared all the equipment for the ceremony such as “Bau Ade Si Wewang Lino” and “Laowawang Lino” ceremony. It also determines the good and bad heart, and also supports Sao Den Ra Kati. Concerning on this problem which has obliterated the local community’s culture, consolidation and also support for the local communities, included Bissu community, have to be the main agenda to be done in order to make a better condition for their existence.