Minggu, 11 Januari 2009

Komunitas Bissu : Resistensi yang Enggan Membisu

”ketika tengah hari itu cuaca gelap gulita, taufan dan badai turun. Puang Matowa Bissu dari Lae-Lae, We Salareng dan We Apanglangi, kepala Bissu dari Ware dan Luwu turun ke bawah bersama perlengkapannya, taufan dan badai pun reda.”.

itulah sekelumit versi kedatangan pertama bissu di dunia tengah ini. Bissu dalam bahasa bugis di artikan sebagai orang suci yang berakar kata dari ”Bessi” atau suci. Demikian dikatakan suci sebab seorang bissu tidak haid, tidak berpayudara dan tidak berdarah. Sementara bissu yang di gambarkan oleh antropolog perancis Matthes bahwa dinyatakan sumber kedatangannya dari Raja Luwu yaitu Batara Guru anak sulung dari Raja Agung di Kayangan yang turun ke bumi (Tumanurung). Dia turun dalam sebatang bambu dan ia keluar dan terasa asing dari penduduk. Kekurangan ini ditutupi dengan bersatunya We Nyili Timo, saudara peremuan dewa mereka yang bangkit dari lautan. Dengan gadis-gadis cantik yang berdiam di Kayangan dan bumi yang fana, barulah kehidupan yang pertama di mulai. Mitos ini dimulai dengan keputusan sepasang dewata terpenting yang memerintah di dunia atas (Datu Patoto’ dan Datu Palinge’) dan sepasang dewata terpenting yang berkuasa di dunia bawah (Guru ri Selleng dan Sinua Toja) untuk mendiami dunia antara (bumi) agar manusia dapat menyembah dan melayaninya. Maka Batara Guru, putra sulung Datu Patoto’ dimasukkan ke dalam bambu. Sebagai to manurung pertama, dia turun ke bumi, memberinya bentuk dan menyebarkan jenis tumbuhan dan hewan pertama. Ketika turun di Luwu’, dia segera berpuasa dan bertapa. Kemudian, mengikutlah hamba-hamba, para permaisuri, rakyat dan bahkan istananyapun, semuanya diturunkan dari dunia atas. Lalu sebagaimana yang telah dijanjikan padanya, sepupu satu kalinya We’Nyili’, putri Guru ri Selleng, muncul kemudian dari air (dia merupakan to tompo’ pertama) untuk menjadi permaisurinya yang terpenting. Dengan demikian bagian terpenting silsilah dalam mitos ini sudah disahkan. Berbagai macam peristiwa mulai dari mitos ini sudah disahkan. Berbagai macam peristiwa mulai dari sekarang diceritakan secara berturut-turut, berlangsung hingga tujuh keturunan.

Puang Matoa Saidi sering mendefinisikan identitas bissu sebagai ”Urane majjiwa makkunrai, tengurane toi temmakunraitoi” (laki-laki yang berjiwa perempuan, api bukan laki-laki juga bukan perempuan). Bisssu adalah pendeta masyarakat bugis kuno, posisinya sebagai penyambung (pengkomunikasi) antara masyarakat bugis dengan dewata yang dilafaldzkan dalam bahasa to riolo. Bissu memegang peran penting disetiap seremoni adat di kerajaan sebab mereka adalah pelayan raja, dan juga sebagai pengabdi di masyarakat. Dalam seremoni seperti memulai tanam padi, panen sampai menempati rumah baru, bissu memiliki otoritas sebagai ”orang pintar” yang mendoa dan memohon berkah dari dewata dengan beberapa ritual abbisungan (ritual bissu). Bissu memiliki puang matoa atau puang toa sebagai pemimpin. Komiitas ini mempunyai istana yang disebut sebagai ”arajange” dan ditugaskan untuk menjaga ”arajang” (benda pusaka).

Bissu adalah calabai tapi tidak semua calabai adalah bissu, calabai dibagi dalam beberapa tingkatan ada yang disebut sebagai calabai tunngke’na lino, paccalabai dan calabai kedo-kedonami. Calabai tungke’na Lino adalah calabai tingkat yang paling tinggi, mereka adalah calabai yang dirahmatai oleh Yang maha Kuasa itulah sebabnya calabai yang seperti ini terkadang disebut dengan guru. Calabai seperti ini sejak lahir sekalipun berkelamin laki-laki tetapi wataknya sudah meyerupai perempuan. Bissu menurut mereka adalah calabai pada tingkat ini. Sedangkan pa’calabai adalah laki-laki yang menyerupai wanita yang dapat berhubunagan secara ganda, mereka dapat berhubungan dengan laki-laki dan sekaligus dapat berhubungan dengan perempuan. Secara Biologis kategori calabai yang kedua ini adalah laki-laki yang mempunyai naluri terhadap sesama laki-laki tetapi juga punya naluri sexualitas terhadap perempuan, ini sangat berbeda dengan kategori yang pertama karena calabai tungke’na lino hasratnya terhadap perempuan memang sama sekali tidak ada. Terakhir adalah yang disebut dengan calabai kedo-kedonami yaitu mereka yang hanya meniru gaya para calabai. Dan pada bissu sendiri, ada yang disebut sebagai bissu dewata dan bissu mamata. Bissu dewata merupakan bissu yang punya ilmu tinggi dan dimiliki melalui titah langsung dari dewata sedangkan bissu mamata ialah bissu biasa yang proses kebissuannya tidak melalui titah dari dewata hanya proses keseharian dan jiwanya yang membentuk menjadi seorang bissu. Biasanya, bissu dewatalah yang menduduki posisi puang matoa atau puang Toa.
Bissu banyak memiliki ritual yang sering dilakukan diantaranya Mapeca Sure’. Mapeca sure ini adalah semacam pernyataan rasa syukur kepada Yang maha Kuasa karena di beri kesehatan dan umur yang panjang untuk memasuki tahun baru hijriyah. Mapeca Sure ini dipimpin oleh imam kampung dan dihadiri oleh masyarakat setempat khususnya kalangan komunitas lokal. Mapeca sure ini hanya bisa dilakasanakan pada saat awal memasuki tahun baru hijriyah tepatnya pada bulan Muharram. Biasanya acara ini dirangkaikan dengan acara lain yaitu ‘Massongka Bala’, satu ritual permohonan doa kepada Yang Maha Kuasa agar seluruh mahluk bumi mencapai keselamatan. Untuk mencapai ‘keselamatan’, manusia harus saling mengingatkan antara satu sama lain. Karenanya, peristiwa Massongka Bala juga dijadikan saat yang efektif untuk saling mengingatkan, merefleksi tingkah laku dan moralitas masing-masing—karena menurut komunitas Passongka Bala (kelompok sosial yang melakukan Massongka Bala) ritual tahunan ini selain untuk mendoakan keselamatan bagi seluruh mahluk bumi, juga dijadikan peristiwa untuk saling menganjurkan kepada kebaikan (dalam Islam versi negara biasa disebut amar ma’ruf nahi munkar). Bila Mapeca Sure di pimpin oleh imam kampung maka masongka bala ini biasanya dipimpin oleh Bissu. Bissu ini adalah pendeta agama Bugis kuno pra Islam. Umumnya mereka adalah Wadam (Wanita Adam) atau wanita dari kalangan putri bangsawan tinggi. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), tidak ada tetek, dan tidak haid. Ketua para Bissu adalah seorang yang diberi gelar Puang Matowa atau Puang Towa. Tradisi transvestites (lelaki yang berperan sebagai perempuan) di tana Bugis sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka adalah para penasehat, pengabdi, dan penjaga Arajang yang merupakan benda pusaka keramat.
.
Dalam mitologi Bissu, Massongka Bala terkait dengan proses diutusnya manusia (Bissu) oleh Dewata (Tuhan) turun ke bumi untuk memulai membangun peradaban baru (manusiawi) dan itu terjadi bertepatan dengan tahun baru hijriyah. Itu sebabnya dalam pelaksanaan ritual Massongka bala posisi Bissu sangat strategis; ritual ini dianggap kurang afdal bila tidak dipimpin/diawali oleh Bissu. Sejakalipun bisa juga dipimpin oleh sanro wanuae.

Saat ini pelaksanaan Mapeca Sure maupun Massongka Bala tidak terbatas pada komunitas Bissu saja, namun juga pada masyarakat yang memiliki keyakinan tertentu terhadap ritual ini. Jama’ah Mapeca Sure maupun Massongka Bala tersebar di beberapa daerah kabupaten di Sulawesi Selatan.
Proses Massongka Bala dan Mapeca Sure yang biasanya acaranya di gabung, dilakukan dengan pengumpulan beberapa makanan (mirip sesajen) oleh tuan rumah pelaksana dan jama’ah lainnya. Sesajen itu berupa kue-kue dan buah-buahan serta pangan lainnya. Namun, diantara sesajen itu terdapat beberapa sesajen yang berstatus ‘wajib’ disajikan, dan masing-masing sajian wajib itu memiliki makna keselamatan, diantaranya, Onde-onde; agar manusia tidak kehilangan motivasi dalam kehidupan, Leppe’-leppe’; agar manusia terbebas dari hal-hal buruk, Apang; agar kehidupan manusia aman dan tentram, Baje Tejjaji; agar semua hal buruk tidak terjadi dalam kehidupan manusia, Wennoo; agar segala usaha/upaya manusia terus berkembang, Kaluku Lolo; kejernihan hati manusia, Bokong; agar manusia ketika dipanggil Yang Maha Kuasa tidak meninggalkan kesan yang buruk diantara sesama manusia lainnya.


Segeri-Pangkep; babak baru dari pergulatan


Penyebaran komunitas bissu hampir di semua daerah-daerah bugis di sulsel. Karena bissu telah menjadi bagaian integral dari kosmologi masyarakat bugis. Tapi saat ini eksistensi komunitas ini yang masih bertaham berada di Segeri. Kec. Segeri Kab. Pangkep. Awalnya, keberadaan komunitas bissu di daerah dikisahkan dalam sebuah kisah rakyat yang berkembang di Bone dan Sigeri. Konon Raja Bone lagi bersedih karena bajak kebesaran Bone tiba-tiba lenyap secara misterius. Ini pertanda bahwa malapetaka kelaparan akan menimpa kerajaan Bone. Beliau segera memerintahkan 40 orang Bissu mencari bajak keramat tersebut. Beliau berpesan jangan kembali sebelum menemukan dan membawa pulang pusaka tersebut. Pada perjalanan pencarian pusaka tersebut, ternyata bajak keramat tersebut kemudian ditemukan di Segeri. Tetapi malang bagi nasib para Bissu pencari, sebab masyarakat setempat tidak mau mengembalikannya ke Bone. Karena takut kembali ke Watampone, maka para Bissu tersebut memilih menetap di Segeri sambil menjaga bajak yang dianggap sebagai Arajang Segeri hingga kini. Sumber lain meyatakan Arajang dan Bissu beserta tarinya berada di Segeri sejak Abdul Wahab Latenri Sessu Petta Loloe’ ri Segeri menjadi raja di Segeri pada tahun 1805 – 1835. La Tenri Sessu adalah putra dari La Tenri Leleang, Raja Tanete ke-14. Arajang berbentuk rakkala (bajak sawah) tersebut diganti dan penggantinya diambil dari Gunung Lateangoro Segeri. Sejak itulah Arajang Segeri di rawat oleh Bissu dan ditempatkan pada rumah khusus yang disebut Bola Arajang. Aturan dan anggaran pemeliharaannya ditetapkan oleh raja Segeri secara turun temurun.

Secara geografis, Kabupaten Pangkep terletak pada koordinat antara 110o sampai 113” Lintang Selatan dan 4o 40’ sampai 8.00 ” Bujur Timur. Dengan Batas-batas Wilayah sebagai berikut yaitu; Sebelah Utara dengan Kabupaten Barru, sebelah Selatan dengan Kabupaten Maros, Sebelah Timur Kabupaten Bone dan Sebelah Barat dengan Pulau Kalimantan, Jawa, Madura Nusa Tenggara & Bali. Luas Wilayah 112,29 km2 Kabupaten Pangkep terdiri dari 7 kecamatan, 97 kelurahan dengan jarak 60 Km dari Kota Makassar.Sejak diundangkannya UU 22 tahun 1998 hingga sekarang, Pangkep telah banyak berbenah untuk menerapkannya secara penuh. Namun Pelaksanakan otonomi jika kita menengok pada sejarah masa lalu daerah sebenarnya telah lama dilakukan jauh sebelum otonomi daerah dikukuhkan pemerintah awal tahun 2000 lalu. Hal ini terungkap dalam sejarah bahwa sekitar abad ke – 12, Pangkep telah menjadi wilayah berdaulat. Dalam catatan sejarah, Pangkep adalah sebuah kerajaan yang mampu mengurus wilayahnya, punya kekuatan dan mendapat pengukuhan dari rakyatnya.
Di kampung inilah para komunitas bissu masih bisa di jumpai, mereka dikesehariannya ada yang beperan sebagai indo botting (perias pengantin) ada juga sebagai petani. Mereka berada di tengah masyarakat yang terkenal religius. Apa lagi saat ini, pemda pangkep telah menelorkan beberapa perda syariat Islam untuk diberlakukan di daerahnya. Akan tetapi komunitas bissu tetap menatap masa depan mereka dan aktif berada di Arajang sebagai istana yang harus mereka pelihara yang sesekali masyarakat disekitar datang untuk bersilaturahmi. Pemda pangkaep sendiri sebenarnya punya hubungan yang dekat dengan komunitas ini, sebab komuntas bissu telah menjadi langganan disetiap even-even yang diadakan bahkan ikon budaya pangkep di even regional maupun nasioanal bahkan internatioinal.

Sekalipun bissu ini adalah komunitas yang sangat di hormati oleh masyarakat bugis khususnya pada masa kerajaan, namun pada masa selanjutnya mereka justru banyak mengalami perlakuan yang kurang simpati dari kalangan agamawan dan pemerintah. Kedatangan Islam dan bergantinya sistem pemerintahan di Sul-sel sangat mempengaruhi keberadaan para bissu ini. Bahkan terkadang kalangan agamawan dan pemerintahan melakukan tindakan refresif kepada mereka. Menurut data Halilintar Latief, seorang antropolog sulsel mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi penghancuran komunitas bissu ini yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Penyebab-penyebab tersebut terdiri dari faktor eksternal dan faktor internal komunitas Bissu itu sendiri. Salah satu faktor eksternal yang utama adalah perubahan sistem kenegaraan, dari sistem kerajaan menjadi negara kesatuan. Peranan raja yang berwibawa, kharismatik dan berpengetahuan luas tentang adat-istiadat sekarang digantikan oleh peranan seorang Camat yang masa jabatannya relatip terbatas di suatu daerah. Demikian pula akibat memudarnya peranan lembaga-lembaga adat, sangat terasa pula pada komunitas Bissu di Segeri. Pada masa pemerintahan kerajaan Bugis, seluruh pembiayaan upacara dan keperluan hidup komunitas Bissu diperoleh dari hasil sawah kerajaan.
Dengan melemahnya sistem adat maka otomatis sistem pemerintahan modern berkembang dengan fungsi-fungsi hirarki pemerintahan. Kedudukan seorang amat sangat berpengaruh di derah, sehingga setiap keputusan-keputusan yang dikeluarkan akan banyak berdampak pada aktivitas sosial masyarakat. Demikian halnya dengan komunitas Bissu ini, kekuasaan kini di pegang oleh lembaga pemerintahan kecamatan, terlebih lagi sistem politik orde baru yang hegemonial semakin memperparah posisi komunitas bissu. Pada masa inilah transisi posisi bissu terjadi. Pada saat itu, arajang yang menjadi istana dari pada Bissu kini tidak terurus lagi akibat tidak jelasnya pengelolaan internal yang juga ikut dicampuri oleh pemerintah kecamatan. Sebab sebelumnya, bissu mendapatkan biaya untuk pemeliharaan serta kegiatan bissu di arajang berasal dari sumbangan para bangsawan, dermawan serta masyarakat. Selain itu, komunitas bissu juga disedekahkan tanah sekitar 5 Ha dari raja segeri yang bernama Puang Mallongi. Dari tanah itulah, komunitas bissu bisa memanfaatkan untuk keperluan arajang dan juga keperluan ritual abbisungan. Pengolahan sawah dan hasilnya dibagikan masing-masing kepada : Jennang (30 Are), Pa’puik-puik (30 Are), Pa’genrang (dua orang, masing-masing 30 Are), Pa’dau’ (pengemala kerbau upacara, 30 Are), Pakkani Tekko (pembajak sawah, 30 Are), Puang Lolo (30 Are), dan sisanya untuk Puang Matowa Bissu sebagaimana yang di jelaskan oleh Halilintar Latief.

Akan tetapi posisi negara yang semakin kuat termasuk disahkannya beberapa kebijakan yang mengambil aset rakyat yang belum disertifikasi maka, tanah adat itu kemudian diambil alih oleh pemda sebagai aset daerah, maka hilanglah sudah ladang nafkah dari komunitas Bissu ini. Dalam melaksanakan upacara adat pun, hampir tidak punya biaya kecuali beberapa sumbangan swadaya masyarakat. Olehnya itu, pemerintah kemudian memberikan ruang dan biaya akan tetapi pemerintah berwenang untuk menentukan (intervensi) tentang ritual yang akan dilaksanakan. Seperti penentuan pelakasaann acara ritual yang mestinya menjadi kewenangan Puang Matoa akan tetapi di ambil dan ditentukan oleh pemerintah setempat sesuai dengan kebutuhan atau peristiwa-peristiwa tertentu. Seperti upacara mappalili yang diintervensi penuh sampai pada proses pelaksanaan ritual dengan menambah dan mengurangi item acara sebagai contoh kasus, dalam acara mappalili (ritual sebelum menanam padi) salah satu item acara dari ritual tersebut adalah mabbisu akan tetapi kemudian dihilangkan dengan alasan efektifitas acara.

Bukan hanya itu, dalam moment-moment politik, komunitas Bissu kemudian dijadikan sebagai daya atraksi untuk kepentingan dulung suara. Mereka ditampilkan dalam ajang kampanye kandidat dengan beberapa tarian khas untuk mendatangkan massa yang lebih banyak. Bissu kemudian berubah menjadi komoditi politik oleh elit-elit yang berkepentingan kekuasaan. Dalam episode lanjutnya, Dinas Parawisata dan Kebudayaan juga mengkomoditasi komunitas bissu ini sebagai komoditi andalan parawisata, tak pelak beberapa ritual seperti mappalili dan massongka bala (tolak bala) dire-konstruksi untuk kepentingan wisata. Pada posisi inilah pemerintah dan komunitas saling berelasi. Pada tahun 2001, Dinas Pariwisata dan kebudayaan melakukan tour ke pulau jawa dengan memboyong komunitas Bissu untuk tampil di beberapa even budaya sebagai ajang untuk menarik wisatawan dan penambahan pendapatan daerah. Dan akhirnya, dinas ini menurunkan fungsi dan derajat komunitas Bissu Segeri ini menjadi sebuah sanggar tari bernama Sanggar La Pawowoi Segeri.

Selain tekanan pemerintah, faktor lain yang sangat dirasakan oleh komunitas ini, adalah persingguhannya dengan agama resmi (Islam). Bermula dengan gerombolan DI/TII misalnya mengaggap kegiatan para bissu ini adalah satu kegiuatan yang musyrik dan khurafat. Sehingga gerombolan ini sampai melakukan serangan terhadap komunitas ini. Mereka membakar berbaghai peralatan upacara para bissu, bahkan melakukan pembunuhan kepada para bissu yang dianggap tidak mau bertobat. Inilah masa yang dianggap bissu sebagai masa hitam dalam sejarah komunitasnya. Gerombolan yang yang dipimpin Kahar Muzakkar ini menghancurkan semua sendi-sendi komunitas lokal tanpa terkecuali. Akan tetapi, menurut Puang Matoa Saidi, Kahar muzakkar sangat menghormati komunitas ini sendiri akan tetapi ada beberapa oknum bawahannya yang tidak menahu atas masalah ini.

Pemerintahan Orde baru sendiri pada tahun 1965 melakukan satu operasi terhadap para bissu ini dengan asumsi bissu ini adalah bagian dari PKI. Operasi yang kemudian dikenal sebagai operasi toba (oporasi taubat) tidak hanya menghancurkan berbagai peralatan para bissu namun juga menangkapi para bissu dan dipaksa bekerja keras. Para bissu ini juga dipaksakan untuk berubah menjadi laki-laki yang sesungguhnya. “Operasi Toba” (Operasi Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. inilah sehingga upacara Mappalili mengalami kemunduran, upacara-upacara Bissu tidak lagi diselenggarakan secara besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya. Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib mereka, karena sebagian dari mereka memang mendukung gerakan “Operasi Toba” tersebut. Sebagian masyarakat yang bersimpati kepada para Bissu, hanya tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun ketika masyarakat menuai padinya, ternyata hasilnya memang kurang memuaskan sehingga beberapa masyarakat beranggapan hal tersebut terjadi karena tidak melakukan upacara Mappalili. Dengan kesadaran itulah beberapa di antara mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar tidak di bunuh dan agar upacara mappalili dapat dilaksanakan lagi. Bissu-bissu yang selamat itulah yang masih ada sekarang ini. Kini jumlah mereka yang tersisa di Kabupaten Pangkep tidak lebih dari duapuluh orang saja. Padahal untuk melakukan sebuah upacara Mappalili yang besar, jumlah Bissu minimal harus berjumlah empatpuluh orang.

Pada waktu kondisisi semacam itu para bissu terpaksa menghentikan berbagai kegiatan-kegiatan ritual mereka seperti upacara mappalili dan upacara masongka bala . kalaupun ada yang tetap melakukan acara-acara tersebut namun harus dengan cara sembunyi-sembunyi.

Pada perkembangan selanjutnya memang para bissu ini kembali mendapatkan sedikit ruang. Sekalipun tentunya tidak seperti lagi layaknya pada masa dulu, khususnya masa kerajaan. Upaca-upacara bissu yang dulunya sudah tidak di peringati kembali diadakan. Sekalipun pengadaan-pengdaan acara itu campur tangan pemerintah nampak sekali. Upacara mappalili yang waktunya biasanya ditentukan oleh para bissu kini di tentukan oleh pemerintah setempat dengan waktu acara tidak lagi berlangsung selama 40 hari sebagaimana dulu, namun tinggal 1 hari. Upacara-upaca itupun lebih banyak diorietasikan untuk dipertontonkan sebagaimana layaknya pariwisata. Upacara yang tadinya sakral telah dijadikan hiburan oleh kalangan pemerintah.

Kedatangan Islam juga lambat laun telah merubah keberadaan dari sekian tradisi para bissu. Sekalipun saat ini tidak lagi melakukan tindakan refersif, namun cemoahan dan hujatan beberapa kalangan dari organisasi agama tertentu masih sering dilakukan. Mereka masih tetap menganggap bissu adalah oarang-orang yang menyalahi kodrat dan melakukan tindakan yang musyrik bahkan mereka menganggap bahwa kalangan bissu telah kafir. Hal inilah yang memaksa kalangan bissu utnuk mencari alternatif lain. Diantaranya sebagai dari para bissu ini telah melaksanakan haji, seperti yang telah dilakukan oleh Pung Matoa terakhir sebelum Pung Matoa Saidi. Bahkan dalam beberapa acara-acara tertentu, para bissu ini justru berpakaian menyerupai para haji. Mereka juga bersorban dan memakai pakaian putih-putih. Seperti ketika ada acara nazar yang dilakukan oleh haji Nawir pada tanggal 1-3 September 1999. akan tetapi semenjak memasuki tahun 2000, prediksi yang sering dikatakan oleh tetuah bissu bahwa suatu saat akan ada sebuah masa dimana seluruh dunia akan berdatangan ke bissu dan bissu akan mendunia. Sejak saat itulah, komunitas bissu kemudian aktif membuka ruang dialog bersama para agamawan serta negara yang selama ini mendiskrimisasi mereka.

Sekalipun ada perubahan, para bissu ini tetap gigih mempertahankan beberapa keyakinan spritualnya. Perubahan dalam acara itu hanyalah bagian dari negosiasi mereka terhadap negara dan agama (Islam) yang sangat kuat menohok mereka. Namun tentunya sekalipun dalam hal tertentu kelihatan mereka harus mengalah namun dalam hal yang lain mereka bisa mensiasatinya dengan cerdik. Misalnya saja ketika berdoa, sekalipun mereka meniru cara-cara berdoa dalam Islam, bahkan menyebutkan doa-doa yang sering disebutkan dalam Islam, namun mereka terkadang mencampurkannya dengan doa-doa dari tradisi mereka. Mereka memang menyebut Nurung muhammad, Puang Allah Taala, sahaba nabi’e, namun juga bersamaan dengan itu juga menyertakan dengan ucapan wali tujue, mula sewangge, riahtanku yang merupakan bagian dari lokalitas mereka.

By : Syamsurijal Ad’han & Muh. Mabrur

Rabu, 20 Agustus 2008

KRATON YOGYAKARTA / Yogyakarta Palace

Oleh. Saidi Puang Matoa

A. Sejarah Kraton Yogyakarta
Sejarah panjang berdirinya Kraton Yogyakarta tidak lepas dari sejarah panjang perlawanan rakyat Indonesia
melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa asing, yang dimulai dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda melalui Paku Buwono II yang merupakan Sultan di Keraton Surakarta untuk menyerahkan seluruh wilayah
pesisir utara Jawa.

Pangeran Mangkubumi yang merupakan penasehat Paku Buwono II sangat tegas menolak keinginan pemerintah Hindia Belanda tersebut dan kemudian menentang serta mengangkat senjata melawan kompeni Belanda.

Akibat-akibat perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi memaksa pemerintah Hindia Belanda melakukan perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Giyanti, yang mana akibat dari perjanjian tersebut kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian yaitu Kraton Kasunanan Surakarta dan Kraton Kasultanan Yogyakarta.

Selanjutnya di daerah baru tersebut, Pangeran Mangkubumi mendirikan Kerajaan Mataram Yogyakarta di wilayah Beringin pada tahun 1756 dan beliau bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.

B. Wilayah Kraton Yogyakarta
Wilayah Kraton Yogyakarta membentang antara Tugu sebagai batas utara dan Krapyak sebagai batas selatan, sementara sungai Code sebagai batas timur dan sungai Winogo sebagai batas sebelah barat dan juga Kraton Jogjakarta berada diantara Gunung Merapi dan Laut Selatan.

Pada tahun 1867, terjadi gempa bumi yang membuat Kraton Yogyakarta mengalami kerusakan yang cukup berat.
Oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII pada tahun 1889 Keraton yang rusak itu dipugar tetapi bentuknya diubah
seperti yang sekarang ini.

Kraton Yogyakarta ini menghadap alun-alun lor (alun-alun utara) yang pada zaman dahulu dipergunakan sebagai tempat mengumpulkan rakyat, latihan perang bagi prajurit kraton, dan tempat penyelenggaraan upacara adat serta keperluan lainnya. Di bagian tengah alun-alun terdapat dua buah pohon beringin yang diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai Wijayadaru yang melambangkan kehidupan di dunia terdapat dua sifat yang saling bertentangan.

Pusat wilayah Kraton Yogyakarata luasnya 14.000 m2 dengan dikelilingi tembok (benteng) setinggi 4 meter dan lebar 3,5 meter. Sementara untuk menghubungkan wilayah dalam Kraton dan luar kraton terdapat 5 buah pintu gerbang
yang disebut Plengkung yaitu Plengkung Nirbaya (selatan), Plengkung Jagabaya (barat), Plengkung Jagasura (barat laut), Plengkung Tarunasura (timur laut), Plengkung Madyasura (barat). Tetapi dalam perkembangannya hanya ada
dua yang masih tetap utuh, yaitu Plengkung Nirbaya dan Plengkung Tarunasura.

Lingkungan dalam Kraton Yogyakarta mulai dari bagian depan hingga bagian belakang secara garis besar terbagi antara 7 halaman (pelataran) yang mana masing-masing dibatasi tembok tinggi dan didalamnya terdapat bangunan-bangunan yang dihubungkan oleh pintu gerbang yang disebut Rogol.

Hingga saat ini Kraton Yogyakarta selain berfungsi sebagai tempat tinggal Sultan beserta keluarganya juga berfungsi sebagai tempat museum dan dahulu sebagai pusat pemerintahan, juga sebagai pusat kebudayaan dan pengembangannya di Yogyakarta

C. Bangunan- Bangunan Lingkungan Kraton
Lingkungan dalam Kraton Yogyakarta mulai dari bagian depan hingga bagian belakang secara garis besar terbagi atas
7 halaman atau pelataran yang mana masing-masing dibatasi tembok tinggi dan didalamnya terdapat bangunan-bangunan serta pintu gerbang yang menghubungkan antara halaman yang satu dengan halaman yang lainnya
disebut Regol. Secara berturut halaman-halaman dan bangunan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pelataran Pagelaran (halaman depan) terletak di sebelah selatan alun-alun utara, sementara bangunan-bangunan yang ada adalah:
a. bangsal pagelaran
b. bangsal pemandangan
c. bangsal pengapit
d. bangsal pangrawit
e. bangsal pacikeran
f. bangsal sitihinggil
g. bangsal manguntur tangkil
h. bangsa witana
i. balebang
j. bale angun-angun
k. tarub abang
l. Regol Brojonolo
2. Pelataran Kamandungan Lor yang merupakan pelataran kedua bangunan-bangunan yang ada.

By Saidi Puang Matoa
A. Yogyakarta Palace History
Long history of Yogyakarta Palace building can not be separated from long history of Indonesian Struggle against Dutch colonialism. It started with the willingness of Dutch Colonial through Pakubowono II who is the king of Surakarta Palace surrendered the Java’s northern coast. Prince Mangkubumi, advisor of Pakubowono II, explicitly reject the willingness of Dutch, oppose and attack against Dutch. The consequences of Prince MAngkubumi struggle, pushed Dutch to make agreement, known as Giyanti Agreement. The result of giyanti agreement was Mataram Kingdom divided into two; Kraton Kasunanan Surakarta and Kraton Kasultanan Yogyakarta. Then, Prince Mangkubumi contructed Yogyakarta Mataram Kingdom din Bringin region in 1765 and had a titled as Sri Sultan Hamengkubuwono I.

B. Yogyakarta Palace Region
Yogyakarta palace region spread out between tugu as northern border and krapyak as southern border. Whereas Code river as eastern border and Winogo river as western border. It also situated between Merapi mountain and South Sea.
In 1867, earthquake occurred and made the palace destructed. In 1889 the destruction palace restored by Sri Sultan Hamengkubuwono VII, the form was changed as now.The palace face northern town square in which at the past time people gathered, palace soldier had military training, custom ceremony carried out and for other interest. In the middle town square, there are two banyan tree which named as Kyai Dewadaru and Kyai Wijayadaru which symbolize two contradicted characteristic in world’s life.The center of palace has 14.000 high square surrounded by high wall with heights 4 m and width 3,5 m. For connecting between inside and outside of palace, there are five gates which called Plengkung; Plengkung Nirbaya (south), Plengkung Jagabaya (west), Plengkung Jaga Sura (Northwest), Plengkung Taruna ( Northeast), Plengkung Madyasura (West). Now, only two existed Plengkung, Plengkung Nirbaya and Plengkung Taruna Sura.Until now, the place function as not only sultan (king) and family resident but also as museum and in the past as government center and cultural center and development.
C. Buildings in Palace Complex
Palace complex, generally consist of seven yard. Every yard bordered by high wall in which some buildings constructed and gates to acces between one yard to the other yard. It’s called as Regol.
1. Pelataran Pagelaran (front yard) located in south of northern town, the building are as follows:
a. bangsal pagelaran
b. bangsal pemandangan
c. bangsal pengapit
d. bangsal pangrawit
e. bangsal pacikeran
f. bangsal sitihinggil
g. bangsal manguntur tangkil
h. bangsa witana
i. balebang
j. bale angun-angun
k. tarub abang
l. Regol Brojonolo
2. Pelataran Kamandungan Lor is the yard of both building.


Selasa, 19 Agustus 2008

KOMUNITAS BISSU DI TENGAH KEMAJEMUKAN BUDAYA/BISSU COMMUNITY IN THE MIDDLE OF CULTURAL DIFFERENCES

Oleh: Saidi Puang Matoa

Negara kepulauan Indonesia yang terdiri dari tidak kurang 17.000 pulau besar dan kecil, memiliki latar belakang yang sangat unik, karena masyarakatnya memiliki budaya dan ribuan bahasa yang saling memperkaya dan menguatkan satu sama lain 
dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia, agama lokal atau kepercayaan asli masyarakat setempat, budaya dan masyarakat adat yang telah berakar sejak ribuan tahun yang lalu berkali-kali mengalami ancaman terkait dengan eksistensi kebendaannya baik dalam pelaksanaan ritual budayanya maupun dalam hal perampasan hak-hak ulayatnya.

Secara garis besar ancaman-ancaman yang menimpa komunitas adat dimulai pada saat masuknya agama-agama luar seperti agama Islam yang dibawa para pedagang-pedagang Gujarat, Persia dan lain-lain maupun agama Kristen yang dibawa oleh Misionaris-misionaris.

Ancaman lain adalah adanya kecenderungan negara untuk tidak mengakui bahwa telah menghilangkan budaya-budaya atau aliran-aliran kepercayaan lokal, yang dapat dilihat dengan diakuinya 6 agama-agama yang notabene bukan berasal dari masyarakat Indonesia.

Hal lain yang menjadi anacaman serius bagi keberadaan masyarakat adat adalah kepentingan global yang didorong oleh korporasi-korporasi raksasa melalui sebuah skenario liberalisasi untuk menguasai sumberdaya alam Indonesia yang mana 
sangat meminggirkan hak ulayat masyarakat adat yang notabene adalah adalah pemilik sah sumber daya alam tersebut jauh sebelum Indonesia dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Demikian halnya yang dialami oleh komunitas Bissu yang berada di Kabupaten Bone, Kabupaten Wajo, Kabupaten Sopeng dan Kabupaten Pangkep. Ditengah terpaan ancaman-ancaman yang ada, komunitas ini berusaha kuat untuk tetap eksis di bawah kepemimpianan Puang Matoa Bissu untuk tetap mempertahankan dan menjalankan kemurnian ajaran Ilagaligo, sebuah kepercayaan yang diwariskan secara turun temurun yang tertuang dalam sebuah kitab “Sure” ILLAGALIGO yang sejarahnya ILAGALIGO merupakan anak dari Sawe Rigading yang merupakan Raja Luwu dengan istri bernama I We Cudai, sementara Raja Sawerigading sendiri merupakan putra dari hasil perkawinan Batara Guru yang merupakan putra dari Patoto ‘E Ri Boting Langi (pemimpin dunia atas atau kahyangan) dengan WENYILOTIMO yang merupakan putri dari Guru Salle (pemimpin dunia bawah/ bumi pertiwi).

Komunitas Bissu yang sejak keberadaannya sampai sekarang berjumlah 40 orang yang dipimpin Puang Matoa Bissu Saidi melaksanakan fungsinya selain fungsi yang disebutkan diatas juga berfungsi/ bertugas untuk menyiapkan alat-alat upacara seperti upacara “Bau Ade Si Wewang Lino” , upacara “Laowawang Lino”. Menentukan hati baik dan buruk dan menyemangati Sao Den Ra Kati disamping berbagai macam tugas-tugas lain seperti yang tertuang dalam kitab ILLAGALIGO.

Mencermati kondisi masyarakat adat di tengah ancaman yang tersebut diatas yang mana telah berdampak pada penghilangan jati diri bangsa bahkan pembunuhan komunitas adat. Langkah konsolidasi dan penguatan masyarakat adat termasuk Komunitas Bissu menjadi agenda utama yng harus secepatnya dan terus menerus/ berkesinambungan untuk dilakukan menuju masyarakat adat yang berdaulat. Yang lain adalah untuk mengakui sepenuhnya keberadaan masyarakatnya.

 
BY: SAIDI Puang Matoa

Indonesia is a country which has 17.000 islands consist of large and small island, and a unique country background because the citizen has got very rich cultures and also languages which enrich and strengthen each other in one big frame called Bhineka Tunggal Ika (Unity in Diversity). In the long history line of Indonesia, local belief; religion and culture which have already existed since thousand years ago, are threatened. It is related with its existence, cultural ritual activities, and also land right. Generally, the threats that the custom community were facing happened when other religions came to Indonesia, namely Islam by the merchants from Gujarat, Persia and so forth, then Christianity by the missionarists. In the other hand, also a thread, there is a tendency that the government does not confessed or it obliterates the local religions and cultures by only confessing 6 religions which do not come originally from Indonesian native. The other serious threat is the global’s necessity which is supported by the gigantic corporation throughout a liberalization scenario in order to authorize the Indonesian natural resources. It alienates the local citizen’s right as the owner of the land, far before Indonesia got its freedom on August 17th 1945. That is what happened to the Bissu community in Bone, Wajo, Sopeng, and Pangkep region. Under this pressure, the Bissu community, lead by Puang Matoa Bissu keep trying and defending its existence and the purity of its belief which has been inherited and written in the “Sure” ILLAGALIGO bible. In the history, ILLAGALIGO the son of Sawe Rigading is Luwu King and has a wife named I We Cudai. Meanwhile, Sawe Rigading is the son of Batara Guru who is the son of Patoto ‘E Ri Boting Langi (The leader of heaven) and WENYILOTIMO who is the daughter of Guru Salle (the leader of earth). The Bissu community, lead by Puang Matoa Bissu Saidi, which keeps its total number summed 40 until now, accomplishes its function to prepared all the equipment for the ceremony such as “Bau Ade Si Wewang Lino” and “Laowawang Lino” ceremony. It also determines the good and bad heart, and also supports Sao Den Ra Kati. Concerning on this problem which has obliterated the local community’s culture, consolidation and also support for the local communities, included Bissu community, have to be the main agenda to be done in order to make a better condition for their existence.


Rabu, 23 Juli 2008

Bissu Berjuang

Masyarakat adat Bissu dari Sulawesi Selatan bersama masyarakat adat lainnya menyadari bahwa keberagaman adalah kekuatan kita bangsa Indonesia dan secara bersama-sama berpegangan tangan menjunjung Pancasila dan konstitusi melalui gerakan budaya pembuatan film dan penulisan oleh masyarakat adat yang diadakan oleh ANBTI di Kaliurang, Yogyakarta pada tanggal 2-6 Juli 2008.